Berdasarkan
tradisi Jawa ternyata perkawinan selalu didasarkan pada kesepakatan awal yang
disebut sebagai meminang atau lamaran. Meskipun kegiatan ini penuh basa-basi
tentunya memegang peran penting sebab kesepakatan untuk melakukan ikatan
besanan ditentukan oleh proses awal ini.
Menurut Hildred Geertz, pola peminangan
secara formal yang benar menurut kejawen adalah terdiri atas tiga tahap yaitu:
1)
Semacam perundingan penjajakan yang
dilakukan seorang teman atau saudara si pemuda, dengan maksud menghindari rasa
malu apabila ditolak.seperti halnya dalam ajaran islam yang kita kenal dengan
Ta’aruf yang dimana adanya pihak ketiga dalam masa penjajakan agar adanya
sesuatu yang tidak di inginkan oleh semua pihak.
2)
Sekurang-kurangnya dengan suatu jaminan
yang serba basa-basi, kunjungan resmi pemuda tersebut kerumah si gadis yang
disertai Ayah atau sanak saudaranya yang lain. Kejadian ini sama halnya dengan
pertemuan kedua keluarga dalam melihat para calon yang deperkenalkan apakah
sesuai atau tidak untuk menjadi seorang mantu ataupun sebaliknya.
3)
Pinangan resmi untuk menentukan kapan
hari perkawinan dilangsungkan. Artinya kedua belah pihak yang diperkenalkan
menerima dengan senang untuk menikah dan disinilah semua keperluan dari persiapan untuk
perkawinan sampai permintaan mahar dibicarakan dengan musyawarah dan juga
sebagai penentu tanggal perkawinan akan diselenggar
Kan.
1. Bentuk-bentuk Perkawinan
keluarga
dapat dibedakan atas beberapa bentuk berdasarkan sejumlah kriteria sebagai berikut:
1)
Menurut Proses Perkembangannya
a)
Promisquitas
Perkawinan
antara pria dan wanita yang tidak teratur, seperti tingkatan dalam kehidupan
binatang, yang apabila terdapat hewan betina sang jantan tidak memandang dia
siapa, yang akhirnya melakukan hal semacam hubungan suami dan istri. Contohnya
kucing.
b)
Perkawinan Grombolan
Perkawinan
antara segerombolan pria dan segerombolan wanita.
c)
Perkawinan Matrilineal
Suatu
bentuk perkawinan dimana anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut
masuk dalam lingkungan keluarga ibu atau menarik dari garis keturunan Ibu.
d)
Perkawinan Patrilineal
Suatu
bentuk perkawinan dimana anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut
masuk dalam lingkungan keluarga ayah, atau menarik garis keturunan dari Ayah.
e)
Perkawinan Parental
Suatu
bentuk perkawinan yang mengakui peranan Ayah dan Ibu sekaligus.
2)
Menurut Jumlah Suami Istri
a) Poligami
Poligami
dibedakan menjadi dua yaitu:
(1)
Poligini
Poligami
sering banyak dilakukan oleh orang yang sudah banyak uang dan merasa kurang
puas terhadap kepunyaan istri satu, dan yang dimaksud disini adalah laki-laki
dengan dua istri.
(2)
Poliandri
Poliandri
terjadi pada seorang wanita yang berkeinginan memiliki suami lebih dari satu
yang biasanya terjadi pada perempuan yang kurang dapat perhatian dari sang
suami yang akhirnya keluar mencari perhatian kepada pria lain.
b) Monogami
Monogami
merupakan bentuk perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria.
3)
Menurut Lingkungan Asal Suami Istri
a) Aksogami
Jodoh
dari pria atau wanita diambil dari klen atau kelompok lain, seperti halnya
perkawinan orang sumatra dengan jawa.
b) Endogami
perkawinan
antara pria dan wanita dari kleannya sendiri, artinya pernikahan semacam ini
berguna untuk menjaga kelestarian tradisi dan warisan yang ada dalam tempat
asal mereka masing-masing.
4)
Menurut Terjadinya Perkawinan
a)
Perkawinan Lari atau Kawin Rangkat
Perkawinan
ini dimana seorang laki-laki membawa lari seorang gadis, tetapi adanya
persetujuan atau tanpa persetujuan seorang gadis. Jadi pernikahan ini
tergantung pada hati sigadis pengantin dan tradisi masih dipergunakan pada
suku-suku di Lampung, Bali, Lombok, Sulawesi Selatan, Dayak, dan Flores.
b)
Perkawinan Peminangan
Perkawinan
ini biasa terjadi melewati tata aturan yang wajar dan biasa berlaku diberbagai
tempat bahkan dalam pelajaran Fiqih Islam tentang perkawinan pun menjelaskan
secara detail tentang perkawinan peminangan ini yang kita kenal denhan kata
Khitbah.
c)
Perkawinan Levirat (Pengganti atau Ganti
Tikar)
Perkawinan
ini biasa kita kenal dengan turun ranjang atau naik ranjang dan berlaku pada
sistem patrilineal, yang dimana jika suami sang gadis meninggal maka sang gadis
harus menikah dengan saudara laki-laki dari sang suami. Hal ini juga tidak
diharuskan hanya saja untuk mempertahankan harta warisan agar jatuh dalam
penerus yang masih seketurunan dan ini masih dipertahankan dalam budaya Batak
yang dikenal dengan nama Pareakhon dan di Jawa dikenal dengan
nama Karang
Wolu.
d)
perkawinan Sororot
Perkawinan
jenis ini sama halnya dengan yang diatas adanya turun ranjang, akan tetapi
permasalahan awalnya yang berbeda dimana sang laki-laki menikahi kakak beradik
yang dimana sang kakak tidak bisa memberikan keturunan atau mandul dan juga
sebaliknya.
e)
Perkawinan Keris
Perkawiana
jenis ini kita temukan di Jawa yang dimana mempelai wanita menikah dengan keris
yang dijadikan pengganti sementara di saat akad nikah dikarenakan memepelai
laki-laki tidak bisa datang karena adnya halangan dan keris didekatkan pas disamping memepelia
wanita dan keris yang digunakan harus keris pusaka dari keluarga mempelai
laki-laki tersebut.
f)
Perkawinan Kaos Tangan
Perkawinan
semacam ini hanya terdapat di Eropa dan sama halnya permasalannya dengan
perkawinan keris.
g)
Perkawinan Hipergani
Yang
dimana perkawinan ini terjadi hanya pada keturunan bangsawan dan darah biru
dari setiap para memepelai dari keluarga tersebut.
h)
Perkawinan Pengabdiaan
Perkawinan
jenis ini sangatlah tidak baik dikarenakan jika sang mempelai laki-laki tidak
bisa memeberikan mas kawin sang calon suami harus terlebih dahulu mengabdi jadi
pekerja pada calon memepelai wanita dan keluarganya agar bisa menikahi sang
wanita jika sudah benar-benar cinta dan tidak mau mencari wanita lain untuk
menjadi calon istrinya.
"Daftar Pustaka"
Wulansari,
Dewi . 2013. Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung: PT Retika Aditama
Soekanto,
Sorjono.1990. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Penerbit Rineka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar